<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d31978585\x26blogName\x3dCORETAN+ENDANG\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dTAN\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://coretan-endang.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3den_US\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://coretan-endang.blogspot.com/\x26vt\x3d2253316379687411988', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>

CORETAN ENDANG

Segalanya yang ingin kucoretkan.......cerita-cerita tentang kehidupan yang ada, dan tak usah risau tentang nyata atau tidak..........
 

Perempuan Pendiam dan Menyimpan Bara

Kunti termangu saja. Diam.
Merenung namun nyatanya toh tak ada buah yang dapat dipetik dari pohon benaknya. Kosong juga tidak. Jika di kepala ini terdapat pusaran, maka pastilah pusaran itu akan sangat berbahaya hingga segala yang berenang melewatinya tak mungkin selamat melenggang menjauh dari pusatnya. Begitu dalam dan keras berputar, hingga keruh.

"Apa yang sudah kau lakukan? Benarkah ..... apa yang kudengar di luar sana?....Maaf, maafkan aku bertanya begini"

Pertanyaan itu dilontarkannya satu bulan yang lalu. Kaku, dan memaksakan keberanian. Pertanyaan itu seperti sebuah dongakan tinggi kepalanya kepada raja yang berdiri di hadapan. Tindakan yang tak pernah dia kenal dalam sejarah hidupnya bersama orangtua dan kini Brata, suaminya. Tetapi kepala itu menegak sendiri. Terdorong arus liar dalam darah yang memagma, terlalu kuat untuk dibendung. Dan ludah yang ditelannya berulangkali untuk meredam arus itu nyata-nyata tak kuasa menahan panasnya magma dalam darahnya. Dan lehernya tegak begitu saja tanpa dia perintahkan pada syaraf.

Kicau burung pagi itu biasa. Tetapi ketika kicaunya tak berhenti dan semakin ramai di siang hingga malam di seluruh penjuru kota, maka burung-burung ini pasti dari jenis yang berbeda. Suaranya riuh, dan terlalu riuh tak menyisakan sedikit hening untuk Kunti memejamkan mata sejenak saja. Riuh, dan langsung menyayat hati. Tentang Putri yang lain yang ingin mencari atap yang sama dengannya. Tentang Pangeran pelindungnya yang lemah hati. Tentang sebuah wangi yang tak wangi sama sekali bagi indera penciumannya sendiri.

" Tidak ada cerita itu. Tidak pernah ada, dan tidak akan pernah ada", begitu tegas Brata.
Suaranya tegas dan keras. Mantap, dengan nada dalam yang dulu menarik Kunti ke bawah atap ini.
" Burung selalu berkicau sendiri dengan nada yang dia ciptakan sendiri", lagi Brata berkata.

Kunti mengerjap. Dia ingin memastikan apa yang dia lihat. Dalam kerjapan matanya yang berulangkali, tak sekalipun bersilang pandang dengan mata Brata. Sebuah pandangan yang dia nantikan, karena dia memegang dua pusaka lelaki itu, suara mantap dan pandangan mata. Kunti hanya memegang satu. Dan dia memilih untuk berjalan membelakangi Brata.

Gusti.....ketika pusaka ini hanya satu, apakah harus runtuh tiang penyangga atap?
Gusti.....jantungku seolah berlari tanpa penunjuk arah sedang aku terus bermohon padaMu.....

*****

" Saya seorang istri, ibu......"
" Lalu bagaimana? "
Perempuan tua itu bertanya lembut. Hatinya dia tata rapi, sekukuh pengalaman hidup yang banyak membaca tanda. Jantung tuanya cukup kuat untuk menerima dentang lonceng yang memekakkan, hanya karena mata tuanya begitu tajam melihat gerak rumput tertiup angin.
" Saya tak mungkin untuk tidak mempercayai mas Brata di kesempatan pertama. Hati perempuan seringkali membutakan. Itu saja yang saya waspadai. Saya tak ingin buta tanpa sebab"
" Dan bagaimana denyut hati membawamu selama itu?"
" Selalu bertentangan dengan keinginan saya. Dia sudah buta sekarang. Hingga saya tak mampu berpikir"

Hening. Dua perempuan terdiam dan larut dalam genangan benak masing-masing. Di tiap persimpangannya, genangan-genangan itu mencoba saling menyentuh dan bertaut.

" Lembut, tak berarti kamu menjadi tak mampu untuk tegak. Bukanlah dosa ketika kamu menjawab persoalan hidupmu sendiri, Nak...."

Kunti mengangguk sekali dan tertunduk.

*****

Hari ini Brata akan datang. Pesawat terakhir dari Bali, dan seperti biasa tak ingin dijemput.
Brata tak tahu, Kunti memang tidak sedang menjemput. Dia tak melihat Kunti. Namun Kunti melihat bagaimana Brata berjalan menggenggam tangan mulus yang tak dikenalnya. Bukan sanak atau kadang, tetapi keakrabannya sangat nyata. Bahkan rasa sayang begitu nyata di genggaman itu. Ketika taksi yang membawa Brata berlalu, Kunti pun meminta taksinya berlalu. Langsung menuju rumah. Jam 8 malam saat itu.


Jam 12 tengah malam. Ranjang itu sudah tertata rapi dan bersih. Bunga mawar merah ditaburkan di atasnya. Perlakuan istimewa malam ini.

" Maaf Kunti, pesawatku tertunda keberangkatannya. Macet pula dalam perjalanan ke rumah. Kamu lelah ya?"
" Sudah biasa, mas.....tidak apa"
" Hmmmm....istimewa sekali kau menyambutku. Ranjang ini wangi dan indah. Bunga-bunga yang kau taburkan, mengingatkan malam pertama kita 20 tahun lalu".
" Ya mas....segeralah berbaring. Bisa kulihat kelelahanmu bekerja. Mudah-mudahan tidurmu nyenyak dengan kenangan indah tentang 20 tahun lalu itu".

Brata bersiap. Duduk di tepi ranjang dan sesaat kemudian memiringkan tubuh untuk berbaring. Kunti melepaskan sepatunya, dan diletakkan rapi di kaki ranjang. Kunti berjalan mendekati tubuh Brata. Mengusap pelan wajahnya.

Dan hitungan waktu berjalan lambat kemudian. Brata terbaring tak bergerak. Tubuhnya kaku menegang. Merah menggenangi seprai bersih. Mawar-mawar itu pun basah dan lengket. Kunti hanya berdiri diam mematung. Tangannya memegang pisau. Pisau yang sama yang membawanya luruh, bertimpuh merah di atas tubuh suaminya.

Jam 1 malam sekarang. Rumah itu sunyi ..
..............
« Home | Next »
| Next »
| Next »
| Next »
| Next »
| Next »
| Next »
| Next »
| Next »
| Next »

At 12:20 PM, Anonymous mariskova said...

Duh, Mbak, gw bergidik... Tp sumpah, kesian yah?    



At 12:25 PM, Blogger just Endang said...

hehehehhe, gue malah udah gak punya kata buat dia..........kesian gak cukup mungkin............ngenes bener......    



»

Post a Comment

 
   





© 2006 CORETAN ENDANG | Blogger Templates by Gecko & Fly.
No part of the content or the blog may be reproduced without prior written permission.
Learn how to Make Money Online at GeckoandFly