Memandangmu, Lelaki............
" Dodol...dodol.....mau nggak dodolnya?"
Panas siang yang terik diantara hari-hari yang mulai memberikan deras hujan, dengan suara lelaki tua. Panas yang tak bisa diisi dengan kudapan manis seperti dodol yang dijajakannya. Dan kenyataan itu yang menjadi jawaban bagi tawaran sang bapak tua . Kaki kurus dengan bungkus kulit sangat keriput terus melangkah memasuki halaman rumah ini. Dan dia lalu duduk di sebuah kursi disana, membiarkan semua mata menatap tak tahu mau bicara apa.
"Ya...saya dengar kok. Gak mau dodolnya juga gakpapa..."
Mata-mata di halaman ini menatap makin heran. Tapi hatiku tiba-tiba menjadi pedih sendiri, tak perlu banyak penjelasan. Dan ketika pedih ini ingin menggerakkan seluruh yang ada untuk membawakannya segelas air dingin, kaki tua itu telah melangkah lagi. Keluar. Tanpa pamit atau permisi seperti dia masuk tanpa ijin. Hatiku makin pedih. Siang memang sangat terik dan melelahkan. Dia adalah kaummu, kasihku.......
Benakku lari ke sisi lain kota ini. Bapak tua lain. Keringatnya mengucur mengalir karena larinya menggapai apa yang dia lihat sebagai hak. Mataku memandang haknya sebagai sebuah monumen kasih sayang. Mengabadikan jejak panjang yang mampu digoreskan oleh tulang, otot dan peluh, dan mungkin harus hilang. Sebuah susunan banyak batu yang bicara tentang cinta, kerja keras dan harga diri kelelakian. Bukan harga angka, tapi kelelakian. Kaummu, wahai kasih....
Memalingkan wajah pada sisi lain, tertampak lukisan serupa. Lelaki dengan usia tengah baya, belum sepuh benar. Dia ciptakan juga menara cinta dengan peluhnya. Dengan keteguhan hati dan idealisme yang seringkali harus dilembutkan dengan bijak. Tak ada keluhnya. Batuk kecil kadang menemani malamnya. Hati ini tak kuasa memandang tanpa ingin menapakkan belaian di wajah yang lelah. Itu kamu.............
Kamu dan mereka adalah lelaki-lelaki biasa, dengan semangat luar biasa. Kuselami setiap langkah kaum itu. Kucoba pahami tiap hati yang terasa patah jika tak didapat ladang untuk membuat monumen cinta. Meski bait-bait lembut mulut wanita menerima kekalahan, tapi harganya bukan angka. Kelelakian. Itu yang katanya mau disuarakan. Karena harga itu adalah peninggalan tertua yang terwariskan pada kaummu.
Mungkin bukan yang istimewa dalam dunia ini. Banyak cerita serupa. Bahkan tak sedikit yang sungguh bercela tak mampu terkatakan hingga semua seolah tampak sama berengseknya. Perempuan-perempuan sepertiku bahkan banyak yang melangkah lebih jauh. Pundaknya bahkan memanggul lebih berat. Tapi entah mengapa tak ingin kusuarakan semua itu. Biar itu menjadi rahasia hatiku. Karena tampaknya akan lebih indah begitu dalam pandanganku. Tak perlu juga diminta tandatangan para lelaki untuk mengakui keperkasaan kaum perempuanku. Sebab perempuan lebih cantik bersuara dengan mata dan hatinya.
Maafkan untuk tiap keluh yang melupakan peluhmu. Ampuni untuk tiap pinta yang sepasti datangnya mentari di ufuk Timur. Dan maklumi jika perempuan melangkahi garis yang katanya tergariskan. Mungkin ada sakit yang ingin dibebaskan dengan langkah kecil. Tapi cobalah pandang dirimu lagi. Dengan sedikit tundukan kepalamu, hati kami bisa menangis. Dengan sedikit pejaman matamu yang lelah, tangan kami akan membelai. Dan kami tak butuh puja puji tak perlu. Kami cuma tak ingin melihatmu tenggelam dalam kesombongan.
Kasih, lembut genggamanmu ini menenangkan hariku.............
Panas siang yang terik diantara hari-hari yang mulai memberikan deras hujan, dengan suara lelaki tua. Panas yang tak bisa diisi dengan kudapan manis seperti dodol yang dijajakannya. Dan kenyataan itu yang menjadi jawaban bagi tawaran sang bapak tua . Kaki kurus dengan bungkus kulit sangat keriput terus melangkah memasuki halaman rumah ini. Dan dia lalu duduk di sebuah kursi disana, membiarkan semua mata menatap tak tahu mau bicara apa.
"Ya...saya dengar kok. Gak mau dodolnya juga gakpapa..."
Mata-mata di halaman ini menatap makin heran. Tapi hatiku tiba-tiba menjadi pedih sendiri, tak perlu banyak penjelasan. Dan ketika pedih ini ingin menggerakkan seluruh yang ada untuk membawakannya segelas air dingin, kaki tua itu telah melangkah lagi. Keluar. Tanpa pamit atau permisi seperti dia masuk tanpa ijin. Hatiku makin pedih. Siang memang sangat terik dan melelahkan. Dia adalah kaummu, kasihku.......
Benakku lari ke sisi lain kota ini. Bapak tua lain. Keringatnya mengucur mengalir karena larinya menggapai apa yang dia lihat sebagai hak. Mataku memandang haknya sebagai sebuah monumen kasih sayang. Mengabadikan jejak panjang yang mampu digoreskan oleh tulang, otot dan peluh, dan mungkin harus hilang. Sebuah susunan banyak batu yang bicara tentang cinta, kerja keras dan harga diri kelelakian. Bukan harga angka, tapi kelelakian. Kaummu, wahai kasih....
Memalingkan wajah pada sisi lain, tertampak lukisan serupa. Lelaki dengan usia tengah baya, belum sepuh benar. Dia ciptakan juga menara cinta dengan peluhnya. Dengan keteguhan hati dan idealisme yang seringkali harus dilembutkan dengan bijak. Tak ada keluhnya. Batuk kecil kadang menemani malamnya. Hati ini tak kuasa memandang tanpa ingin menapakkan belaian di wajah yang lelah. Itu kamu.............
Kamu dan mereka adalah lelaki-lelaki biasa, dengan semangat luar biasa. Kuselami setiap langkah kaum itu. Kucoba pahami tiap hati yang terasa patah jika tak didapat ladang untuk membuat monumen cinta. Meski bait-bait lembut mulut wanita menerima kekalahan, tapi harganya bukan angka. Kelelakian. Itu yang katanya mau disuarakan. Karena harga itu adalah peninggalan tertua yang terwariskan pada kaummu.
Mungkin bukan yang istimewa dalam dunia ini. Banyak cerita serupa. Bahkan tak sedikit yang sungguh bercela tak mampu terkatakan hingga semua seolah tampak sama berengseknya. Perempuan-perempuan sepertiku bahkan banyak yang melangkah lebih jauh. Pundaknya bahkan memanggul lebih berat. Tapi entah mengapa tak ingin kusuarakan semua itu. Biar itu menjadi rahasia hatiku. Karena tampaknya akan lebih indah begitu dalam pandanganku. Tak perlu juga diminta tandatangan para lelaki untuk mengakui keperkasaan kaum perempuanku. Sebab perempuan lebih cantik bersuara dengan mata dan hatinya.
Maafkan untuk tiap keluh yang melupakan peluhmu. Ampuni untuk tiap pinta yang sepasti datangnya mentari di ufuk Timur. Dan maklumi jika perempuan melangkahi garis yang katanya tergariskan. Mungkin ada sakit yang ingin dibebaskan dengan langkah kecil. Tapi cobalah pandang dirimu lagi. Dengan sedikit tundukan kepalamu, hati kami bisa menangis. Dengan sedikit pejaman matamu yang lelah, tangan kami akan membelai. Dan kami tak butuh puja puji tak perlu. Kami cuma tak ingin melihatmu tenggelam dalam kesombongan.
Kasih, lembut genggamanmu ini menenangkan hariku.............
Labels: Ngeresensi dan Nggosip, Sepenuh Cinta
Postingannya kali ini bagus banget, bikin aku merenung. makasih ya
udah panas terik, berat, ditawar lagi....harusnya justru kembaliannya gak usah diambil
setuju ama nn.. ini postingan terbaik yang pernah gue baca di blog ini.. keren ndang.. sumpeeh..
penuh makna dan entah kenapa ada rasa tersindir. dan juga takut sedikit sih.. *teteeeuupppp* hehehe
*menghirup teh tawar panas.. lagi berhenti ngopi*
nice jeng.. postinganmu mengingatkan ku pada seorang bapak tua yg tiap sore memikul gentong menjajakan tahu campur lamongan. dia sering berhenti di depan rumahku dan aku tidak bisa memberikan lebih dari yg bisa kuberikan.
setuju sama mas Jaf. Ini postinganmu yang paling keren.
Tadi malem aku nganter precil2 les gitar. Pulangnya, pas nunggu angkot, ada pak tukang becak nawarin nganter. Aku gak mau secara jalan raya di sini serem banget, ngeri kegencet truk kalo naik beca. Tapi yang ada, Ndang, aku nyesel banget bilang 'engga pak, makasih'. Kenapaaa ya tadi gak mau. Kenapaaa ya....hiks...
Wajah pak Tua itu masih kebayang bahkan sampai pagi ini :(
"Tak perlu juga diminta tandatangan para lelaki untuk mengakui keperkasaan kaum perempuanku."
Setuju banget. Tanpa itupun, perempuan sudah perkasa.
itulah pemandangan lain yg bs kita lihat di sekeliling kita, di tengah hiruk pikuknya ibukota ini.
trenyuh sekali melihatnya.
memaksa saya mebaca 2 kali,, renungan buat saya mbak!!1
Komentar saya sama seperti Bang Ichal, saya sampe baca dua kali....
enak dibaca berulangkali
*nn, sama2 mas....tapi bukan pusing kan?
*dian, sapa yg ambil kembalian? beli aja nggak...mau gue ambilin air minum udah keburu pergi dianya...
*jaf,ah elooooo.....hayuk ngobrol lagi ! btw, lagi rajin lo ya ngeblog...
*dena, jadi sering dibeli tahu campurnya?
*venus, ah...kebayang nyeselnya mbak...ngilu ah gue..
*fitri, tosss ah........
*evi, lebih dari trenyuh malahan...
*ichal, heheh...i know, uda...
*ghatel, nggg.....i'm sorry
*mikael, trimakasih mas....
jadi inget papahnya Rusi, laki2 tua sangat perkasa dengan tubuh kecil kurus dan lengkungan2 di lengan, dulu ....
saya selalu minimal 2 kali baca postingan Mbak Endang, itupun belom tentu mudheng. tapi tetep aja maen ke sini terus, sama seperti ke blognya Mbak FM.
kali ini cerita soal kaum adam di kehidupan Mbak Endang ya..
Lelaki perkasa, tabah, baik hati, pengertian idaman wanita,hehehe
walah ngga nyambung...
lagian dipandangin sih....hehehe
*Sebab perempuan lebih cantik bersuara dengan mata dan hatinya*ah, bagaimanapun perempuan memang lebih perkasa drpd laki2
Jadi inget bapak yang bekerja keras menghidupi keluarganya. Namun juga pengen dengerin lagunya ADA Band, "karena wanita ingin dimengerti"
Laki-laki perkasa & peremopuan cantik, itu memang sudah kehendakNYA. Kalau kemudian ada laki-laki lembut & perempuan gagah itu karena mereka2 tidak bersyukur.
Akhirnya ..... laki2 tentu membutuhkan perempuan, begitu juga sebaliknya.
Berpasanganlah dan raih cinta itu sepanjang waktu :)fehut
wah postingan nya wajib dibaca para lelaki dibelahan dunia nih ...
melihat mereka yang dengan gagah mengupayakan hidupnya membuat semangat saya semakin membara, bayangkan dengan segala kondisinya mereka tetap survive tanpa pernah menengadahkan tangan, lha begitu liat anak-anak muda yang ngamen, 'ngemis'? ah saya jadi banyak berandai-andai
lelaki memang kuat, dan wanita memang tabah :D
disini aku jarang liat lelaki yg jualan angkringan berat2, biasanya mereka naek motor.
*ely, jadi inget lagunya Ebiet yg Ayah itu...
*isnuansa, soal kaum adam yg kulihat jeng...
*delakeke, heheh..iya dong dipandangin...kan bagian dari hidup..
*danu, kita saling apresiasi ya mas..
*mufti, saya sedang memahami laki-laki malah...
*guskoko, ini saya lagi mengapresiasi kerja keras para lelaki...
*ichaawe, iyakah? para istri juga biar menghargai lelakinya...
*iway, iya way.....saya juga...jadi mikir..
*kenny, peralatan udah modern, kalo di sini kita lbh ke semangat aja kali..
Touching, Indeed.. wah kayaknya harus banyak belajar dari gaya menulis sampeyan nih!...
Lho memang, tapi kna boleh2 aja kan kasih komentar yang nyeleneh dikit.
Maksudku tidak semua laki2 perkasa, ada juga lho yang melempem ha ha ha.
*Luigi, saya juga msh belajar kok mas...
*guskoko, iya mas gakpapa...saya kira salah mengerti aja..makasih ya..
udah 23 komen yg masuk ?? hiks....gk dikabarin klo udah apdet :-(
sedih kalau liat lelaki tua renta masih bergelut dengan kejamnya dunia.....
Lelaki tua yang masih memiliki semangat, terus berjuang Pak...
Hmmm, seharusnya kita bisa sama2 saling mengerti. Kaumku dgn Kaummu.
nice posting mbak....walau banyak kata2 kiasannya hehehe
kerasnya kehidupan tak membuat mereka menyerah =)
jadi teringat ma my Paps..
*tata,pake reader neng.....
*puutrie, oh iya dong...saling mengerti itu harus.....
*tia, udah biasa ya jeng.....
*mei, mengharukan ya...
*stey, makin sayang ma papanya ya...
hohoho..
sayah bakal buwat posting tandingan.
"Memandangmu, Mekbukku.."
d4su4tuh4r1Gimana weekend-nya nih? masih memandang-mandangi? - udah ada tulisan yang baru?
waah mbak, saya suka bacanya...
*salam kenal dari Surabaya*
»
Post a Comment