<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d31978585\x26blogName\x3dCORETAN+ENDANG\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dTAN\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://coretan-endang.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3den_US\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://coretan-endang.blogspot.com/\x26vt\x3d2253316379687411988', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>

CORETAN ENDANG

Segalanya yang ingin kucoretkan.......cerita-cerita tentang kehidupan yang ada, dan tak usah risau tentang nyata atau tidak..........
 

Selendang Merah Astari

Tuesday, November 04, 2008

Astari menajamkan telinganya, memiringkan kepala dan segala upaya. Sayup, dia menangkap suara mengalun seperti yang selalu diakrabinya berpuluh tahun. Dari beranda kecil di penginapan puncak gunung Bromo, suara itu begitu menggelitik. Membangunkan sukma yang terpendam di tahun-tahun belakangan ini laksana asap yang entah darimana kayubakarnya berada. Membumbung makin tinggi hingga memasuki penciumannya yang meradang memerah . Karena asap sukma, karena tangis yang tiba-tiba muncul mencuat.


Tapi dia tak puas. Sendiri berlari di gelap malam berkabut mencari gelombang suara itu. Dalam radar hatinya yang tak mampu berjalan wajar, dia kira bisa mengenali gelombang suara yang tak berwujud itu untuk menuntunnya pada sebuah tempat. Tempat yang dia bayangkan akan membuatnya menatap kotak-kotak bermuatan bilah besi dengan manusia-manusia memainkan besi-besi itu. Ji, ro, mo, nem ji, pi,lu…..sebuah pendopo dengan temaram lampu teplok dan para niyogo memukul gamelan.


“ ….asalnya dari balai desa. Ini malam jumat, warga kampung di desa ini biasa memainkannya tiap bulan pada malam jumat tertentu untuk manembah. Begitulah cara mereka manembah, dengan kidung-kidung seperti yang kau dengar. Aku sempat bertanya pada bapak-bapak di turunan itu waktu menyusulmu kesini.“


Pracahyo telah berada di sampingnya dan memberinya sesuatu yang dia tanyakan dalam hati. “ Tempatnya jauh dari sini, tapi keheningan tempat ini membuat suaranya mampu menembus kabut “, lanjut suaminya itu lagi. Astari tak berucap. Lidahnya memang tak mampu menari meski jemarinya mulai ngithing sejak tadi. Dia palingkan wajahnya dari wajah suaminya, kembali pada hamparan luas di depannya yang dia sendiri tak menyadari ada apa di depannya. Apa yang tak disadari dilihatnya mewakili hatinya. Entah apa di dalam dia bahkan tak tahu. Mungkin kosong. Dan airmata itu, entah darimana datangnya.


“ Dingin sekali, masuk angin kamu nanti”, sahut Pracahyo lagi dengan lengannya menggamit pundak Astari membawanya kembali ke bungalow mereka malam itu. Dia ingin tinggal dulu disana, tapi Pracahyo selalu mengajarinya untuk terus berada dalam tataran logika bagaimanapun perasaannya berjalan. Dan logika itu menang, karena tak ada alasan yang baik untuknya tetap di tepi sawah itu seorang diri. Ya, sawah luas yang baru terpampang jelas di matanya saat langkah kakinya mulai mengikuti suaminya kembali ke bungalow. Kesadarannya kembali.


*****


“ Kamu bisa kembali kapan saja kamu mau “.

Astari masih terdiam. Cangkir kopinya hampir tandas, dan itu cangkir kopinya yang kedua. Selama itu suaminya bicara, yang dia lakukan hanya menyesap kopi sedikit demi sedikit, sejak masih mengepul hingga terasa pahitnya ketika mulai dingin. Gorengan yang dia buat sebagai hidangan sore pun tak disentuh. Matanya menatap kedua putranya bermain bola di lapangan depan rumah.


Semua berbaur jadi satu dan dia lalui seolah tanpa rasa. Ucapan Pracahyo, tendangan bola anak-anak di lapangan, riuh suara bersorak, atau sapaan tetangga yang berlalu dengan balasan senyum tipisnya saja. Keheningan dalam hatinya terlalu menyelimuti hingga ia tak pekak sedikitpun oleh kebisingan nyata di sekitarnya. Yang dicarinya hanya satu, apa rasa yang dia miliki sekarang. Jika ia terpaksa bicara, tak mungkin mereka mengerti apa yang dia bicarakan. Dengan bahasa apa dia harus bicara. Bahasa yang puitis, terlalu absurd untuk dunia percakapan. Bahasa lugas, tak mampu mewakili apa yang dia punya dalam hati. Mungkin akan butuh kalimat-kalimat panjang bahasa lugas untuk membuat orang lain membaca dan mengerti perasaannya. Dan semua ucapan Pracahyo itu, lagi-lagi hanya tataran logika. Sebuah dunia solusi yang tak ingin berlayar dalam kegamangan tak tentu arah. Sebuah ujung dari seutas tali rasa yang ingin segera dituntaskan. Sesuatu hal yang selalu ingin dilakukannya kecuali untuk hal yang satu ini.


Tak mendapat tanggapan, Pracahyo hanya menatapnya dengan senyum. Lekat. Di menit terakhir dia tersenyum, tinggallah sebuah kesimpulan dari mulutnya,“ Kamu terlalu keras pada dirimu sendiri…….”. Pracahyo berlalu, dunianya terus berputar dengan wajar. Dan putarannya saat itu sedang tiba di waktu mandi sore.


Sesungguhnya Pracahyo memang mengerti apa yang sedang terjadi dengan Astari. Suaminya itu tentu saja mengikuti dan memahami drama apa yang membuat istrinya jatuh begitu dalam di pusaran perasaan yang berlarut. Tapi inilah dua dunia yang berhadapan di depan matanya dan seringkali memisahkan mereka untuk sesaat.


Dunia lelaki, dunia perempuan. Dunia lelaki yang tak menyukai kegelisahan ketika dia mengerti apa yang harus dilakukan untuk memangkas kegelisahan itu. Dunia perempuan yang mengerti apa yang harus dilakukan namun melibatkan berbagai unsur hanya untuk memperindah hidup. Astari kadang memang geli sendiri menyadari keanehan perempuan menyiksa diri berenang-renang dalam kegelisahan dan mengatakan begitulah indahnya hidup. Astari bahkan kerap mentertawai kaumnya sendiri untuk keanehan itu. Dan kini dia harus mentertawai dirinya sendiri karena dia juga menenggelamkan diri di kolam yang serupa. Tertawa pahit dan asin dengan segala warna airmata yang sempat tercecap oleh lidah kelunya. Dan karena dia sedang gila karena merasa gelisah itu indah, maka film itu diputarnya lagi dalam benaknya.


*****


Ruangan itu begitu riuh. Setiap sudutnya terisi sosok-sosok sibuk yang melakukan berbagai gerakan dan aktifitas. Fokusnya hanya satu, semua kegiatan di ruang itu adalah untuk sebuah perhelatan besar. Astari, ada disana dan menjadi bagian kecil untuk mewujudkan perhelatan besar itu sebaik-baiknya. Upacara pernikahan yang didukung oleh kekerabatan erat, adalah upacara pernikahan yang tak kan mungkin terlupakan. Dan karenanya Astari senang mewujudkannya untuk sahabat baiknya. Astari dan keluaraga besarnya.


“ …….Tolong ambilkan kain itu….Dimana daftar acaranya…..Aaahh, jariku tertusuk jarum….wah, mengapa alisku tak seperti biasa……..”…….dan terus, terus….. gegap gempita dengan suka senang panik dan berdebar.


“……siapa lagi yang belum selesai……..halooo, ini ada perias yang kosong ….haloooo, boleh aku dulu disanggul?.......Astariiii, kemari sebentar…….Astariiiii, kok kamu belum kesini?......Astariiii……..”

“ Astari masih sibuk, tau nggak !!!!!!!! “ Blllaaarrr…………..


Kesunyian lalu hadir tak jelas darimana. Petir itu sudah menyambar. Tanpa hujan. Dan suara petir itu membuat tangan Astari gemetar. Lututnya juga gemetar. Tak berdaya dan tak juga bias memutuskan, berlari, membentak mulut yang mengeluarkan petir, atau mendekap seorang wanita di seberang ruangan itu. Wanita tua dimana rahimnya pernah dia huni selama sembilan bulan. Wanita tua yang mengalirkan air susu untuk mulut Astari kecil. Wanita tua yang saat itu begitu pias dengan keterkejutan yang sama dengan Astari karena perlakuan petir yang tak mengenal hujan dan panas. Dan tak ada kata menyesal.


Dan bulan-bulan setelahnya berlalu dengan peluh Astari di waktu malam beriringan mimpi buruk yang terus hadir………..menyamai langkahnya meninggalkan gelanggang yang diakrabinya hampir separuh umurnya.


*****


“ Jadi……tidakkah kamu akan hadir lagi di gelanggang itu, Astari?”, begitu tanya yang selalu dia dengar. “ Tidakkah kamu rindu dengan selendang merahmu?”


Cuma senyum yang selalu dia berikan pada setiap pertanyaan itu. Senyum yang dia tahu tidak akan mengobati luka. Senyum yang dia pelajari sebagai bahasa dengan banyak makna. Sedangkan tak ada kamus yang sanggup menjelaskan maknanya dengan tepat.


Astari tahu, dia hanya sanggup bicara pada hatinya sendiri.


“Aku rindu, dan hatiku berdarah

Aku cinta tanpa henti tapi tak penting

Selendang merahku adalah sejarah panjang……

Sepanjang ketika ia dibentangkan

Sehalus ketika ia disibakkan

Dan serapuh ketika ia terlalu sering melenggang,

seiring irama mengalun

Maka cintaku tak sesakral air susu…………”

 
   





© 2006 CORETAN ENDANG | Blogger Templates by Gecko & Fly.
No part of the content or the blog may be reproduced without prior written permission.
Learn how to Make Money Online at GeckoandFly