<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d31978585\x26blogName\x3dCORETAN+ENDANG\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dTAN\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://coretan-endang.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3den_US\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://coretan-endang.blogspot.com/\x26vt\x3d2253316379687411988', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>

CORETAN ENDANG

Segalanya yang ingin kucoretkan.......cerita-cerita tentang kehidupan yang ada, dan tak usah risau tentang nyata atau tidak..........
 

JATUH

Thursday, September 18, 2008

Ketika saya menangis,
tdk satupun makhluk mau memahami maksud airmata ini ada.

Ketika saya marah,
tidak satupun sudut dunia menyediakan tempatnya untuk mendengarkan makna jeritan yg ada.

Dan ketika tak satupun wajah berpaling pada diri ini,
maka yang kuminta hanyalah kekuatan dinding hati untuk menyimpannya.....



31 agt 2008,
Sudut kamar gelap

Kamu Yang Tercinta



Aku tak mengerti

Ketika Tuhan menciptamu, mungkin hatinya sangat penuh cinta

karena dirimu sangat sempurna indahnya……

Matahari mungkin tak pernah terbit sendiri tanpa ditemani sapamu

dan aku terbangun dengan sentuh dan senyummu

Mungkin kau pernah berteriak untuk segala yang memenuhi jiwamu

tapi seperti janji sang matahari untuk menghapus kabut,

jejaknya bahkan tak kulihat lagi

Dan aku pasti cinta kamu………mereka juga cinta kamu……….

Aku masih disini, kami masih disini

menatap tiap sudut yang merekam hadirmu dulu

menatap rumput hijau di atas makam yang memisahkan ragamu dari kami

membaui wangi yang punyamu, mengenangmu……..

Kulitmu tak bisa kusentuh lagi, matamu pun tak bisa kutatap

Tapi hatimu dan segalamu tak pernah pergi

Dari sudut hati, dari nadi, dari nafas ini…………..



ditulis untuk menyertai buku Yassin , mengenang 40 hari kepergianmu………

Persepsi



Nafasnya panjang tak habis dalam detik pertama. Tak sampai lama jeda berlalu dihembusnya lagi seri nafas panjang yang berikut. Hampir satu tangan terhitung dia lakukan itu berulang, tapi terasakan dadanya tak juga lega. Ah, aku seperti orang terapi asma saja, pikirnya kemudian. Mengeluh. Dan keluhannya itu justru memberinya gejolak lain di sekitar perutnya. Ulu hati, tak nyaman, dan sesekali seperti orang ingin berhajat. Mulas, tak terlukiskan. Ini gelisah namanya. Dida berjalan.

Namanya Dida. Dida tak tahu arti namanya. Jika ada yang bertanya, dia menjawab mungkin dulu ibunya ingin bernyanyi tapi tak bisa hingga hanya senandung didadadiddidadada itu yang terdengar. Dan sesederhana itu saja namanya muncul, tanpa ingin menganalisa lagi perlukah dimaknai. Terserahlah, batinnya. Yang penting orang lain bisa memanggil dirinya dengan baik. Dida ini adalah Dida yang sama sedang tak menentu perasaannya. Yang punya gelisah tadi. Berdiri di tepian balkon, menatap jauh dekat kemana saja matanya mau. Tidak jelas juga tujuan tatapannya. Lelah berdiri dan menumpukan tangan pada pagar besi , dia melangkah ke bangku sudut dan diam disitu. Tak nyaman, Dida malah melorot ke lantai dan memeluk lututnya erat, kepala ditumpangkan asal di lutut. Dan beginilah dia bertahan lama menenteramkan hati.

*****

” Kemana Dida? “, suara seorang lelaki, ayah Dida.

” Di balkon……ngelamun aja…..jangan ganggu, Yah…biar aja ! ” , itu Kief, adiknya. Laki-laki, SMA, yang tak jelas juga arti namanya selain ibunya waktu itu sedang jatuh cinta pada bintang film bernama itu.

” Ah….siapa yang mau nganggu, wong Ayah cuma tanya dia dimana…..hehehe”

” Yeeeeee……….ngocol nih, Ayah ! “

Pak Hari senyum samar sambil membuka harian paginya. Hatinya menebak-nebak apa yang terjadi pada putri sulungnya. Andai Santi istrinya masih ada, dia tidak akan terlalu sering menebak-nebak begini tentang apa yang terjadi pada anak-anaknya. Tak dibiarkannya hatinya merindui bayangan istrinya yang sudah dua tahun ini pergi selamanya, matanya menelusuri berita-berita di halaman harian pagi. Teori pengalihan perhatian untuk menipu perasaan.

” Ayaaaaah…….Kief pergi dulu ya…..ke rumah teman, pulang siang. Tertib kok, bos ! “

Sambil mencium tangan Ayahnya, Kief tersenyum dan mengedipkan mata. Pak Hari mengerti, karena begitulah cara Kief meminta ongkos.

*****

Dia masih seperti tadi, seperti setengah jam yang lalu. Telinganya mendengar segala pembicaraan Kief dan Pak Hari. Mendengar gemerisik daun yang tua, mati dan jatuh. Mendengar derum kendaraan yang lewat, suara burung gereja di sekitar halaman, suara bantingan pintu Kief……..semua dia dengar. Tanpa membuka mata sedikit pun. Semuanya dia hirup seperti nafasnya, memenuhi kepala dan rongga dada, menjadi penghiburan tersendiri. Itu musik juga baginya. Memberinya rasa tenang jika dia serap tanpa pandangan mata, hingga dia betah berlama-lama begitu.

” Didaa……….ngapain lama-lama begitu. Kayak orang waras aja kamu…….ayo makan sama Ayah ! “

Kaget, Dida membuka mata. Dilihatnya pak Hari berdiri di ambang pintu. Terganggu, tapi Dida tak ingin marah pada Ayahnya. Dia tahu, harus ada orang yang membangunkannya dari keterlenaan sesaat supaya dia sadar, bola bumi ini masih menggelinding untuk dia dan semua orang.

” Tante Retno masak apa? “

Ya, mereka memang tinggal bersama tante, adik ayahnya, yang hidup sendiri tanpa suami, dengan dua sepupunya. Semenjak Ayah Dida juga menduda, mereka memilih berbagi kehidupan di rumah besar itu. Saling menopang dalam susah dan senang, begitu filosofinya.

” Nasi Uduk……komplit deh ! “, kata Ayahnya mendahului berjalan.

” Oke……gosok gigi dulu ya, kan belum mandi “, Dida nyengir dan terburu-buru pergi sebelum kupingnya disambar ayahnya.

*****

Sore itu, Dida dan Pak Hari sudah berada di mall favorit mereka. Tante dan para sepupunya tak ikut. Biasalah hari Minggu, hari keluarga tantenya beribadah. Sejak pagi mereka pergi dan mungkin ingin merancang acara mereka sendiri. Keluarga Dida dan keluarga adik ayahnya itu memang berbeda agama. Kehadiran Ibu Dida di samping Pak Hari-lah yang membuat perbedaan itu.

Ada film baru yang ingin Dida dan Ayahnya tonton. Tentu saja jawaban Kief bisa ditebak untuk ikut bergabung bersama mereka berdua, ketika Dida menelpon ke telpon genggam Kief. Tapi itu nanti, masih satu jam lagi dia menyudahi kumpul-kumpulnya. Sekarang, Dida jalan-jalan dan makan-makan berdua dengan Pak Hari.

” Emangnya ada apa, Da? “, pak Hari membuka obrolan serius ketika sudah duduk di dalam Warung Pojok itu.

” Heh ? Apaan ? “

” Ya itu…..kamu itu kan kalo punya pikiran biasanya malah tidur. Lha hari ini kan beda tho ? “

” Beda gimana, wong Dida juga tadi tidur di jam nanggung gitu kok…..”

” Ya tapi kan setelah sempat jadi tontonan burung di balkon, Neng ! Nggak usah ngeles gitu laaah….”

Dida nyengir, minum teh pocinya, goyang-goyang kaki. Pak Hari tidak mau kalah, terus menatap dan menjawil terus tangan anak gadisnya yang mahasiswa semestar 4 jurusan filsafat ini.

” Udah ah, nggak usah colak-colek aja……iya, bentar Dida tarik nafas dulu”.

” Singkatnya begini…..Dida nulis apa, yang baca ngartiin beda…….Dida ngomong A, yang dengar ngirain maksudnya C…Dida diem aja, lha kok salah juga……”

” Trus…….”

” Ya Dida kesal ! Putus asa. Mending kalo cuma salah interpretasi, Yah. Ini sampai bikin orang-orang tuh merasa tau Dida itu orangnya ABC dan seterusnya. Seolah Dida itu identik dengan karakter ABC dan seterusnya. Sempat ngerasa mending gak usah bergaul aja. Sakit hati, Yah ! “

Nafas Dida tidak karuan, dadanya naik turun cepat. Nyata sekali dia sangat emosi dan andaikan manusia itu bukan ciptaan Tuhan, mungkin dia sudah menjadi kepingan kecil karena ledakan emosi tak tertahankan. Bibirnya yang mendadak lebih panjang sedikit dibandingkan biasa, adalah sebuah penanda lain. Dan Pak Hari, masih terdiam dan memandang Dida dalam-dalam. Tak ingin segera bicara.

Setelah menyesap lagi kopi panasnya, barulah Pak Hari bicara perlahan,

” Kamu kan bukan tidak tahu, bahwa kesalahan termasuk salah mengartikan itu selalu bisa terjadi….”

” Iya sih……bukan hal baru…”

” Sekarang tinggal kamu mengatur emosi aja mungkin “

” Maksudnya ? Dida baru uring-uringan itu setelah semuanya bertumpuk, Ayah…..”

Pak Hari tersenyum. Tangannya membantu pelayan yang datang mengantarkan pesanan mereka, Nasi Bogana dan Iga Kambing Bakar. Menempatkan Iga pesanan Dida di depan putrinya, dan menyeruput lagi kopinya yang tinggal sedikit.

” Teman Ayah dikantor, orang baik, semua yang kenal dia juga tahu. Minggu lalu dia ditangkap, katanya terlibat korupsi. Beritanya keluar dimana-mana, jaman sekarang berita begitu ditunggu orang. Semua bilang, memang begitulah orang seperti dia, seperti Ayah. Pekerjaan yang dipandang buruk. Tapi kenyataan sebenarnya…..ada banyak hal yang berada di luar keinginan kita. “

” Kenapa gak bikin penjelasan? membantah? “

” Pada saat orang mempercayai kesimpulan dia dari apa yang dilihat, cenderung untuk tidak mempercayai omongan selanjutnya. Capek jadinya”

” Terus…pasrah terima nasib dipandang jelek gitu? “

Pak Hari tersenyum lagi. Kali ini, lebih kepada keadaannya yang sedang berusaha menelan suapan-suapan terakhir. Dida sendiri sibuk memutar-mutar Iga yang dipegangnya, untuk mencari bagian daging yang masih bisa digigit.

” Kamu tidak suka berdandan sebagai anak gadis…..kata orang kan gadis harus cantik, harus dandan “, pak Hari akhirnya menuntaskan santapannya. Tatapannya kembali pada Dida. Mau atau tidak, ucapannya sendiri baru saja memukul perasaannya sendiri. Berderap cepat membawa gulungan badai yang meniupkan nama Santi. Orang yang tepat yang seharusnya menanamkan nilai-nilai kehidupan seorang gadis pada Dida

Dida melotot. Barisan jawaban siap meluncur untuk menjawab pertanyaan itu, kalimat-kalimat yang dihafalnya karena pertanyaan itu terlalu sering menghajar telinga. Tapi mendadak dia ingin sedikit kreatif,

” Ayah nggak takut dikira yang tidak-tidak ya……tidak mencari pengganti Ibu, di rumah ada tante Retno yang tidak semua orang tahu itu adik Ayah? “

Dida menangkap kedipan mata Ayahnya. Jawaban semuanya itu sudah ada di genggamannya, tepat di waktu Kief yang berpotensi menghancurkan perbincangan, menyusul ke Warung Pojok itu.

” Waaah…….pasti habis omong-omong orangtua nih ! Ikut aaaaah….”

” Iya, omongan orangtua……tentang kapan yang namanya Kief bisa bener tingkahnya “

” Aaaaah, curang……gak jadi ikutan deh. Yok, langsung aja Mbak, nonton. Gue udah kenyang ! “

 
   





© 2006 CORETAN ENDANG | Blogger Templates by Gecko & Fly.
No part of the content or the blog may be reproduced without prior written permission.
Learn how to Make Money Online at GeckoandFly