Nem
Saturday, December 13, 2008Nem belum juga mau beranjak meninggalkan kantornya meski waktu sudah melarut. Pukul 20.00, dan Cindy temannya menemani dengan wajah yang mulai menampakkan rasa jenuh.
" Ayolah Nem....memangnya kamu nggak capek? Aku cukup kenal kamu, semua pekerjaan itu hanya kamu cari-cari".
" Lalu....kenapa Cin? Besok libur, aku cuma nggak mau ketika Senin masuk lagi begitu banyak pekerjaan memburu."
" Itukan alasanmu. Coba lihat mataku............ada apa lagi? Masih meributkan soal nama dengan ibumu?"
Nem menjatuhkan laporan yang dipegangnya keras-keras ke meja. Pelan, matanya mencari mata Cindy. Nafasnya panjang, dan matanya hampir berair.
" Baiklah........tapi masih mau temani aku mencari kopi?"
*****
Nem dan Cindy mengambil tempat di sudut cafe, dekat dengan air mancur tapi pangan ke meja itu tertutupi oleh rimbunnya daun pohon-pohon sekitar kolam. Nem memesan kopi dengan ukuran besar.
Mereka bicara apa saja, tapi tidak tentang Nem. Mereka membahas banyak masalah, tapi tidak tentang sesuatu yang mengganggu simpul-simpul syaraf Nem. Dan hanya dia yang tahu persis kelebatan lukisan di simpul-simpul syaraf itu.
Tepat sebelum akhirnya mereka hendak beranjak pulang menjelang tengah malam, Cindy cuma berkata," Banyak masalah pelik kamu selesaikan di kantor. Entah bagaimana kamu bisa sehebat itu, Nem. Karena itu jabatanmu lebih tinggi dari aku, Senior Quality Manager. Tapi mungkin kamu juga terlalu pandai hingga masalah namamu ini saja tak bisa kamu pandang sebagai sesuatu yang sederhana. Konfliklah kamu dengan ibumu. Buka hatimu, Nem...."
*****
Sepanjang malam itu setelah dalam hitungan minggu ketegangannya dengan ibu dimulai, Nem mengambil sikap seperti yang dikatakan Cindy. Membuka hati, menghirup banyak-banyak udara yang dia butuhkan untuk merasakan sesuatu yang lebih lembut. Lebih peka.
Saat Nem merebahkan diri di sofa ruang tamu, dan ibunya mendekat. Duduk dekat kepala Nem berada, karena memang ingin mengelusnya. Perempuan itu kecil, sangat sederhana. Rambutnya hanya digelung kecil, pakaian masih bertahan dengan rok terusan model tahun 60an, sikap tubuh sedikit bungkuk dan cenderung tampil tidak percaya diri serta penuh ragu canggung.
" Ndak tidur tho, cah ayu? Ini hampir pagi lho...."
" Bu, apa yang membuat ibu melarang aku ganti nama?", jawaban Nem untuk pertanyaan perhatian ibunya.
Perempuan itu diam sesaat, sudah tahu hal ini yang membuat putrinya tidak tidur.
" Ibu ndak nglarang kok, nduk....cuma sedih".
" Buat Nem kesedihan ibu sama artinya Nem sebaiknya nggak usah melakukan."
Tangan kecil keriput itu terus menyusuri rambut Nem....lembut. Nafasnya pun terdengar pelan dan tidak sedikit ada gejolak emosi seperti miliknya.
" Aku pakai nama Nem supaya tidak terlalu kentara bu, kalau namaku Painem. Hidup di Jakarta, jabatanku tinggi, kolegaku banyak orang asing. Sehari-hari aku pakai alat-alat canggih untuk bekerja, berbahasa asing, bepergian keliling dunia....duh ibuuu, ibu ngerti nggak gimana risihnya aku. Kadang yang baru tahu namaku kaget, aku pura-pura nggak memperhatikan".
Tangan kecil itu terus membelai dan tidak sedikitpun berhenti.
Sampai Nem selesai meluapkan bongkahan batu dalam dadanya, tak secuit suara perempuan kecil itu menyela.
" Nem....nduk, kancamu kuwi, siapa namanya?"
" Cindy...kenapa bu?"
" Ndak kok. Dia anak buahmu yo? "
" Iya.....tapi aku kan nggak ngomongin dia tho bu. Aku cuma........."
Tiba-tiba, Nem merasa tak perlu melanjutkan kalimatnya. Tatapan mata ibunya dalam. Sangat dalam dan Nem seolah tersentak. Ada sesuatu yang bersinar di dalam kepalanya kini, titik yang mulai ditangkap maknanya.
" Ibumu ini cuma wong ndeso. Ndak ngerti nama-nama yang katanya mengandung doa. Tapi nduk.....nek kamu percaya.......Gusti Allah mungkin sudah bosan ndengar doa ibu yang isinya cuma tentang kamu. Dan hasilnya ya kamu sekarang, seperti yang kamu cerita tadi. Piye, nduk?"
Nem cuma membuka dan menutup mulutnya, tapi tak satu kata ada. Tanpa dia sadari, air bening meluncur deras dari matanya. Dia mengerti, sangat mengerti.
" Ibu ndak melarang, nduk.....ibu sayang kamu", sembari jarinya menghapus air bening yang serupa di matanya sendiri.
Ketika ibunya meninggalkannya sendiri, ada yang bergaung di benaknya. Perlukah dia berkeras hati?