<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d31978585\x26blogName\x3dCORETAN+ENDANG\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dTAN\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://coretan-endang.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3den_US\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://coretan-endang.blogspot.com/\x26vt\x3d2253316379687411988', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>

CORETAN ENDANG

Segalanya yang ingin kucoretkan.......cerita-cerita tentang kehidupan yang ada, dan tak usah risau tentang nyata atau tidak..........
 

Di Ambang Jendela

Wednesday, August 13, 2008

Jendela depan masih menampakkan titik-titik basah siraman hujan yang menempel. Matanya cuma menerawang sekilas.

“Ayo nak…..mandi. Badanmu sudah bau begini, kamu ngompol lagi semalam”
” Papa ana ?…….Papa ana, ma ????? “
” Ya ayo mandi dulu, nanti kita telpon papa. Kalau belum mandi, telponnya nggak nyambung”

Anaknya diam, pandangan matanya berusaha mencerna kalimat yang mampir di telinga. Tapi dia tak menampik gandengan tangan ibunya membawanya ke kamar mandi.

Ini hari ke sembilan perempuan itu berdiam di rumah itu. Rumah dimana dia diam sementara bersama anaknya, entah sulung entah akan terus semata wayang. Pikiran berkelana seperti penunggang kuda tak tentu arah, melintasi padang yang di matanya hampir tak bertepi.

Rumah ini tak asing, tapi keterasingan toh selalu menyelinap berindap diam dalam keterusterangan di setiap relung kalbu. Semua menampakkan ruang kosong, sejauh yang bisa dilihat mata batinnya.

Tangannya terus bergerak secara naluriah, membilas menyabuni menggosok sampai mengelap kering lagi badan si kecil. Apa yang berderap di balik kulit dadanya, tak berirama sama dengan perlakuan sang tangan.

” Nanti kita telpon papa, kapan pulang ya sayang….”

Anaknya memang tak banyak bicara. Belum banyak simpanan aksara yang dimiliki. Tapi perempuan itu bisa melihat kebingungan, kerinduan dan jutaan pertanyaan yang tersimpan di dalam kepala dan hati kecil anaknya. Hhhhhhhh…….helaan nafasnya jadi sangat panjang, mengagetkan telinga si kecil di hadapannya.

Rumah ini tak asing baginya. Dan pemiliknya berhubungan erat dalam darah mereka, suami dan anaknya. Segalanya telah ada untuk membuatnya bisa tenang diam di situ. Tapi sembilan hari………..terlalu panjang untuknya diam sendiri tak berketetapan.

Bisikan yang pernah dia dengar tentang sebuah masa nanti yang harus diraih. Energi yang harus dibuat untuk menghadirkan masa yang dinanti. Dan kata-kata spiritual yang harus selalu dia ulang untuk memperpanjang sabar. Semua menjadi miliknya. Apa yang dilakukan bapak anak itu, hanya perlu doa. Langkah pencarian memang perlu dipanjangkan ke tiap sudut yang mungkin untuk dijangkau, kemana pun kesempatan ada. Dan kesendirian ini, mau atau tidak, harus siap langsir di tenggorokan sempitnya.


kalau aku sabar sekarang, aku bisa senang kelak……………
angel-angele wong urip golek penguripan………

Perempuan itu senang sekali duduk di tepi jendela. Di situ, cerminnya membawanya beterbangan kemana dia suka. Tepi-tepi kusennya jadi tak berarti, tak mampu membatasi pengembaraannya yang begitu kaya dengan bayangan. Di situ juga dia selalu menunggu setiap janji yang dia dengar. Disitu juga dia berharap menatap tubuh kurus lelakinya, bapak anaknya, berjalan membawa matahari, atau setitik bintang………….

” Aku sudah akan datang, tunggulah………”
Dan dia menunggu. Jauh di luar penglihatannya, hatinya meraba hati lelakinya. Gundah, lebih dari gundahnya. Karena dia lelaki.

Di ambang jendela ini, perempuan itu selalu ingin menatap sinar meski basah……….

BULAN



“Ma, Rara jatuh cinta nih….”

“Siapa Ra? Keren nggak? Baik nggak anaknya?”

“Ma! Sabar dong….udah langsung introgasi gitu deh!”


Bulan tersenyum memandang putri sulungnya. Ya,dia memang terlalu tergesa-gesa untuk sebuah informasi pertama semacam itu. Seharusnya dia biarkan saja dulu putrinya itu menata hatinya untuk bercerita. Jika sudah merasa nyaman, tanpa diminta pun akan meluncur berbagai cerita dari bibir tipisnya itu. Sekarang, pasti dia akan pergi sebelum bicara apa-apa lagi. Memang begitulah sifat Rara. Jika dirinya memiliki cerita, tidak ingin didikte kapan dan bagaimana caranya bercerita. Hanya saja Bulan tiba-tiba begitu bersemangat untuk mendengar dan berbagi celoteh. Ada sesuatu dalam dadanya yang tak bisa diatur untuk tenang. Sambil tersenyum dan mencium pipinya, Bayu berbisik “ Mau tahu aja ini si Mama….aku berangkat dulu ya, Ma…”


*****

Bulan membersihkan luka di jarinya dan mengolesinya dengan obat luka antiseptic sebelum dia tutup lagi dengan plester. Jenis luka biasa, teriris pisau dapur. Tidak terlalu dalam, namun cukup perih terasakan. Bulan mencoba merasakan dimana tersimpan perihnya. Entah kenapa, dia justru tidak mempedulikan jarinya. Perih, ketika ia bernapas, perih ketika menekan dadanya. Tak mengerti lagi dengan dirinya, bergegas dia tinggalkan dapur setelah menitipkan pekerjaan apa saja yang harus dilakukan si mbok Gendar untuk diteruskan disana.


Hari berjalan lambat bagi Bulan. Laksana berminggu bulan tahun digenggaman, namun didapatinya dirinya masih di ruang TV ini. Dan Si mbok Gendar belum juga selesai menyiapkan hidangan. Diliriknya lagi jam dinding, masih setengah jam film itu diputar. Bukan, bukan bosan Bulan menunggu hingga akhir cerita film. Hanya saja deburan jantung yang begitu kerasnya menghantam relung jiwa telah memperpendek rentang daya tahannya untuk berbuat apapun. Bahkan sekedar duduk diam manis menikmati hiburan tak mampu lagi dilakukannya. Ditinggalkannya lagi TV tetap memutar film spy kesayangannya. Mungkin di depan kompor akan lebih baik, pikirnya. Kenyataannya memang panas yang cukup menyengat dari tungku kompor mampu membakar segalanya. Dan Bulan bertahan disana hingga selesai apa yang dimasaknya menjadi suguhan makan siang hari itu.


“Mama, Rara pulang…Masak apa hari ini?”

“Ma, Dito lapar nih, sengaja gak makan di kampus tadi.”

Bulan bergegas bangkit dari depan computer. Kedua anaknya itu sudah menyerukan genderangnya keras-keras untuk menyatakan kehadiran mereka di depan meja makan.

“Sudah di depan meja makan, kok ya masih teriak-teriak. Nggak yang laki, nggak yang perempuan. Kalian kan…”

“Ayo makan deh Ma, enak nih kayaknya ikannya”

“Ya, Mama lapar juga kan? Yuk, duduk!”


Bulan paham, mereka lebih senang mengalihkan pembicaraan ketimbang mesti mendengarkannya mengomel berpanjang-panjang untuk satu kebiasaan kecil. Anak-anak itu sudah mulai dewasa, sudah pandai menyiasati suasana hati mamanya yang kadang mendadak menjadi tidak begitu baik. Tidak ada lain kecuali ia terpaksa bergabung dengan mereka. Melihat mereka begitu menikmati masakannya, membuat Bulan melupakan kesalnya akan tingkah mereka tadi. Dan begitulah seorang ibu itu tercipta. Mudah untuk menuangkan cinta pada sang buah hati, seberapa besarnya pun buah hati itu kini.

“Ma, kita ngerumpi yuk di kamar.”

Bulan cuma tersenyum mengangguk.


*****

“Mmm…Ma, bolehkan besok malam minggu Rara pergi nonton?”

Itu adalah awalan. Dan dari sana selanjutnya cerita itu bergulir. Tentang teman yang dikenalnya di sebuah Seminar Periklanan yang diadakan kampusnya. Tentang ketampanan yang bukan nomer satu, tetapi sikap tenang dan bersahaja temannya itu yang membuatnya jatuh hati. Tentang tak adanya rayuan bagi dirinya kecuali perhatian lebih yang diterima Rara dari pemuda itu. Bulan menikmati cerita Rara. Sangat menikmati. Yang tidak disangkanya, dia menikmati cerita itu seperti ia sendiri yang mengalaminya. Karena itulah tadi pagi ia begitu bersemangat menanyakan tentang hal ini.Atau memang benar dia sedang kembali kesana, Bulan masih mencari jawabannya. Mendadak kegelisahan merayap.

“Kamu benar-benar suka ya? Dengarkan kata hatimu, sayang. Mudah-mudahan dia orang yang kamu cari”. Bulan terus berjuang menutup galaunya. Karena dari sana mungkin putrinya bisa membaca segalanya. Bulan terus berjuang menutup galaunya, karena waktu ini adalah milik putrinya.

“Mama ngantuk, Ra. Tidur dulu ya”

“Sampai nanti ya Ma.”

Tapi Bulan tak pernah sungguh-sungguh tidur. Ia hanya memainkan sebuah sandiwara demi tampak normal.


*****

“Ma, kok Mama kelihatan beda?”

“Beda apanya sih?”

“Yah…lebih sering diam, jadi lebih sering nonton dvd..”

“Lagi males ngomong aja, Pa. Lagi males ngapa-ngapain,ya mending nonton filem kan?Apa salah?”

“Hm…ya nggak sih, cuma siapa tahu aja Mama ada masalah yang mau diomongin tapi gak bisa ngomong.”

“Nggak ada apa-apa kok”

Bulan beruntung dia duduk membelakangi Bayu. Dengan begitu Bayu tidak melihat bagaimana tangannya tiba-tiba bergetar dan nyaris menjatuhkan botol pembersih wajah yang dipegangnya. Bayu sudah menangkap perubahan. Dan itu artinya hanya dua. Bulan harus segera menghilangkan galau hatinya, atau ia bercerita tentang semuanya. Dia tidak terbiasa menyembunyikan sesuatu dari Bayu.

“Papa sekarang lebih sering pulang malam. Nggak apa-apa sih, cuma agak kesepian. Mama jadi kangen karena nggak banyak ngobrol lagi seperti biasanya”

Bulan terus mencari, adakah memang ini kenyataannya.

“Iya, Papa juga capek pulang malam terus. Tapi memang tugasnya bertumpuk sejak kita liburan waktu itu. Nggak ada yang bisa diminta membantu. Pusing juga sih.”

“Ya sudah, istirahat aja sekarang. Mama buatkan teh panas aja ya, terus kita tidur”

Ada sedikit kenyamanan dalam hatinya. Langkahnya ringan ke dapur. Mungkin ia sudah menemukan rahasia itu. Mungkin memang sedikit obrolan tadi yang dicarinya. Perasaan galau seperti gadis remaja, mungkin memang untuk sosok suaminya. Dan itu membahagiakannya


*****

Masih belum terlalu siang saat Bulan menekuni lagi film-film koleksinya. Hari ini memang ia tidak memasak apa-apa lagi. Kemarin ia sudah menyimpan masakan untuk hari ini, menunggu dipanaskan saja. Si mbok Gendar bisa menambahkan sedikit lauk gorengan dan sambal nanti menjelang waktu makan tiba. Saat ini dilihatnya si mbok Gendar mengurusi tanaman di pekarangan. Ia begitu telaten layaknya orang desa yang begitu ahli mengenai bagaimana bercocok tanam yang baik. Biasanya Bulan akan menemani disana sambil memindahkan beberapa pot untuk mengubah suasana rumahnya atau ikut menyiram tanaman. Tapi sekarang ia sedang tidak tertarik berada disana. Sudah hampir satu minggu ini ia merasa lebih betah di dalam rumah, di ruang TV atau di depan komputernya. Koleksi filmnya memang sudah bertambah lagi dengan yang baru, dibelinya di mall dekat rumah seminggu lalu dan belum semua selesai ditontonnya. Dalam waktu-waktu dimana ia sedang sangat kesepian, koleksi-koleksinya itu sangat membantunya membunuh waktu panjang kesendiriannya. Tapi beberapa hari ini kesendirian itu begitu nikmat. Dan ia tidak peduli apa-apa lagi. Ia bahkan tidak ikut makan ketika Rara dan Dito mengajaknya makan siang bersama. Ia biarkan mereka kemudian berkurung di kamar entah melakukan apa. Bulan sedang tidak peduli. Ia memilih sendiri.


“Mama kalau sedang nggak enak hati, nggak bisa diajak bicara ya Pa?”

Bulan diam, dan mencoba menghabiskan makan malamnya.

“Kayak kamu Mbak, kalau lagi jatuh cinta. Kalau udah jadian, baru deh ketawa-tawa terus kayak semuanya badut aja!”

“Ah, sok tau nih Dito…masa mbaknya diledek begitu. Untung garpunya mbak Rara nggak nancep di hidungmu.”

“Hiihihihihihi…..emang iya kok”

“Ya tapi kan Mama nggak mungkin jatuh cinta lagi. Dasar norak lu, To! Kan ada waktunya orang nggak enak hati, apalagi perempuan.”

Mau tidak mau Bulan tertawa mendengar semua obrolan yang isinya membahas dirinya.

“Iya, mungkin ini PMS. Pre Menstruation Syndrome. Udah, teruskan aja makannya. Nanti juga pasti Mama baikan.”

Selamatlah semuanya. Bulan masih menyimpan ceritanya untuk dirinya sendiri.

Dan beberapa menit kemudian ia sudah menemani suaminya duduk di teras, sementara Rara dan Dito belajar untuk ujian mereka besok pagi.


“Pa, hari Sabtu nanti nonton yuk ke bioskop. Sudah lama nggak jalan berdua.”

“Anak-anak ada acara apa?”

“Rara pergi sama pacarnya. Dito, mungkin mau ngajak temannya datang kesini”

“Kok tumben dia nggak pergi?”

“Paling-paling uang bulanannya menipis. Nggak berani minta lagi dia, waktu itu sudah dibelikan CD baru. Milih main PS2 tanding sama teman-temannya.”

“Ya…boleh aja. James Bond ya…Itu kan film yang terbaru di Pondok Indah?”

Sampai malam semakin larut, Bulan tak ingin berhenti bercengkerama dengan Bayu disana. Ada kebutuhannya untuk memantapkan hati. Ada keyakinan yang dilihatnya semakin jelas. Ada titik dimana semua akan menjadi jelas baginya. Bayu akan melihatnya dengan lebih indah, sebagai penghibur kelelahannya bekerja.

“Pa, dari film-film yang kita punya, beberapa ceritanya bagus.”

“Mama udah nonton?”
”Ya udah, makanya bisa cerita. Ada yang tentang manula jatuh cinta. Something Gotta Give Lucu, tapi manusiawi.”

“Lucu gimana?”

“Maksudnya aneh melihat manula jatuh cinta. Padahal mereka manusia biasa juga, punya perasaan.”

“Ah, Papa nggak suka film begitu.”

“Ih, itu kan bisa aja terjadi sama kita”

“Yang spy, bagus?”

Bayu sudah berpindah cerita. Sekali dia tidak suka, pembicaraan tidak akan berlanjut. Bulan mengikuti arah diskusi yang dipilih suaminya.

“Ya, bagus. Bisa ya, agennya sampai terpaksa harus membunuh temannya demi Negara.”

“Ya, memang begitu susahnya. Nggak ada lagi urusan pribadi.”

“Maksudnya?”

“Ya, untuk Negara, apapun harus dilakukan”.

“Tapi kan gimana perasaan temannya yang dibunuh”

“Ya dia juga harus mengerti, berkorban buat Negara”

“Mungkin begitu. Tapi keluarganya kan nggak bisa terima?”

“Ya memang. Lha mau gimana lagi?”

“Apa nggak ada jalan lain?”

“Jalan lain apa? Taruhannya besar sekali kalau musuh teroris”

“Kalau begitu, mending nggak punya keluarga dong?”

“Ya makanya, rata-rata diceritakan mereka cerai atau keluarganya jadi korban”

“Untung papa nggak kerja semacam itu ya?”

“Mama ini gimana, wong film kok dibawa ke perasaan?”

“Ya, film kan tentang kehidupan juga,Pa”

“Ya tapi kan pusing setiap kali nonton terus emosi…”

“Tapi Mama suka sekali dengan cara mereka menangani masalah. ”

“Tegas, cepat, tapi lembut juga”

“Kok, lembut?”

“Ya, sebenarnya perasaannya halus”
”Itu manusia, Ma. Ya bisa aja”

“Mama kesengsem karakter tokohnya”

“Udah ah, kita tidur aja,ngantuk!”


Bulan menyertai suaminya ke kamar tidur. Sambil mengerjakan segala rutinitas malam, ia berolah pikir. Apa yang dirasakannya sekarang sulit dijelaskan. Bahkan olah pikirannya tak mampu menembus logika. Itulah mengapa Bayu tak menerusan diskusi tadi. Tapi ini memang terjadi.

Dalam rentang sekian hari berlalu menelisik segala sudut hati, dan tak mampu terucapkan, malam ini ia mengerti. Namun ia semakin geli mendapati sekali lagi betapa uniknya manusia. Dan betapa Maha Besarnya kekuasaan Sang Pencipta yang menciptakan manusia dengan keunikannya itu, yang kadang tidak bisa dimengerti oleh manusianya sendiri. Bercengkerama dan diskusi dengan Bayu tadi membuatnya yakin tentang posisi Bayu di hatinya. Dalam kurun belasan tahun pernikahannya seolah semua mengkristal dan akan bertahan abadi disana. Namun tidak menutup hatinya itu untuk mengenali sosok lain yang indah baginya. Meski ia tidak pernah mengenal sosok itu, tapi memberikan gairah baru bagi kehidupannya yang mulai beranjak redup. Sekali lagi ia ingin tertawa, merasa aneh dengan dirinya. Bagaimana mungkin ia mencintai seseorang, karakter yang tak pernah nyata dan hanya sebuah fiksi film, tapi membuat tidurnya tak nyenyak. Bulan menghela nafasnya, panjang dan terkikik geli.

 
   





© 2006 CORETAN ENDANG | Blogger Templates by Gecko & Fly.
No part of the content or the blog may be reproduced without prior written permission.
Learn how to Make Money Online at GeckoandFly